Tahaddiyatuna [RMS#2]

 

12032568_1076899819006589_2026394910_n

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqarah ; 197)

Membicarakan mimpi-mimpi yang hendak dicapai bertahun-tahun ke depan, tentunya harus dibarengi dengan pembicaraaan mengenai tantangan apa saja yang menghadang dan problem apa saja yang membentang, yang itu sudah pasti keberadaannya. Tidak lain karena dengan mengetahuinya, akan ada langkah-langkah dan usaha-usaha untuk menyelesaikannya. Ibarat menempuh perjalanan panjang, untuk mencapai tujuan perjalanan itu kita harus mengetahui seluk-beluk medan. Ada rintangan apa saja yang akan kita hadapi sepanjang perjalanan itu. Ada jurangkah? Ada perbukitan berbatukah? Ada rawa-rawakah? Atau gurun pasirkah? Kemudian bagaimana cuacanya apakah ada hujan? Bahkan badai? Angin kencang? Dengan mengetahuinya, kita bisa memprediksi peralatan apa saja yang dibutuhkan untuk kita persiapkan. Dengan begitu, kita siap menempuh perjalanan untuk akhirnya sampai ke tujuan.

Maka, saya akan coba menulis rangkaian pertanyaan yang bermuatan tantangan-tantangan tersebut atau menyiratkannya. Sengaja tidak saya sertakan jawaban karena tidak kesemuanya sudah saya pribadi fikirkan jawabannya. Juga karena tidak semua jawaban dari pertanyaan tersebut cukup pas untuk dibahas oleh mahasiswa melainkan pihak lain yang lebih berotoritas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut saya maksudkan juga untuk menstimulus diskusi-diskusi dan pembahasan-pembahasan lebih lanjut, yang sebagiannya akan saya coba untuk tuliskan dalam edisi-edisi RMS mendatang.

***

Pertanyaan paling mendasar yang apabila kita menemukan jawabannya, maka kita akan temukan pula jawaban dari pertanyaan lain turunannya; Apa definisi yang sebenarnya dari perguruan tinggi pesantren? Apakah perguruan tinggi pesantren hanyalah merupakan perguruan tinggi yang seluruh mahasiswa, staf, dan dosennya bertempat tinggal di dalam-meskipun pada realitasnya paling tidak hingga saat ini terdapat sejumlah staf dan dosen yang berada diluar-kampus? Bila iya, apa yang akan membedakannya dengan kampus lain yang mahasiswanya kos-kosan? Bila tidak, sejauh apa interaksi dan hubungan antara mereka? Apakah kebersamaan dalam hidup dalam kawasan kampus hanya berfungsi untuk memudahkan dalam berkonsultasi dan mengumpulkan tugas? Kalau iya, apakah fungsi itu benar-benar berjalan? Bila tidak, system, instrument atau agenda apa yang bisa menjangkau fungsi yang lebih? Ustadz Hamid berulangkali mengemukakan ide beliau tentang supersystem, bagaimanakah sebenarnya teknis pelaksanaan supersystem itu?

Kemudian apakah definisi dari mahasiswa santri? Apakah mereka sama seperti santri di KMI dahulu hanya plus  belajar di bangku perkuliahan? Karena kita sepakat bahwa tegaknya disiplin amatlah diperlukan karena dengannya nilai dan system pesantren yang baik akan dapat dipertahankan dan terjaga, maka disiplin bagaimana yang harus diterapkan? Kemudian bagaimanakah pencegahan pelanggaran kedisiplinan mahasiswa? Bagaimana pula penindakan terhadap mereka yang melanggar? Bagaimana para mahasiswa bisa nyaman dalam kedisiplinan tersebut sehingga bisa optimal berkemahasiswaan?

Tentang kehidupan mahasiswa dan kampus, bagaimana ia berjalan di kampus perguruan tinggi pesantren? Bagaimana realisasi dari konsep olah zikir, olah fikir, olahraga yang amat sering kita dengar? Bagaimana kebersamaan dan kekeluargaan itu dibangun? Bagaimana olah rasa dan kesadaran berfungsi dengan baik? Bagaimana ubudiyah dan kehidupan spiritual mahasiswa bisa hidup? Bagaimana kehidupan ilmiah mahasiswa bisa hidup? Bagaimana kebersihan dan kerapian lingkungan dapat terjaga? Apa yang dimaksud dengan kebersamaan dan kekeluargaan antar seluruh penghuni kampus? Bagaimana kehidupan olahraga dan berkesenian? Bagaimana bahasa arab dan inggris dapat dipraktekkan dalam percakapan sehari-hari?

Mengenai berbagai elemen dan sarana yang ada, apa fungsi dari asrama yang saat ini berjumlah 3 untuk undergraduate dan 1 untuk postgraduate? Istirahat sajakah? Atau bahkan untuk kegiatan lain semacam kegiatan ilmiah, olahraga, dan kesenian? Atau untuk berorganisasi pula? Apa fungsi dari gedung kuliah? Sejauh apa ia bisa dimanfaatkan? Apa fungsi dari meeting hall? Apa saja fungsi dari berbagai perkantoran yang ada? Apa fungsi perpustakaan? Apa fungsi lapangan? Bukankah dengan mengetahui dan mendefinisikan fungsi dari itu semua, bisa ditentukan pula fasilitas atau sarana-prasarana yang ada?

Mengenai lembaga yang berhubungan dengan mahasiswa, sejauh apa peran Dewan Mahasiswa bagi mahasiswa? Haruskah seluruh aspek kehidupan seluruh  mahasiswa terpantau oleh Dewan Mahasiswa? Apakah peran Dewan Mahasiswa bisa disamakan dengan OPPM semasa KMI dulu? Apa perbedaan antara Dewan Mahasiswa di kampus pesantren dengan BEM, LEM, atau DEMA di perguruan tinggi lain? Apakah dibutuhkan tambahan lembaga mahasiswa tertentu untuk mengisi plot tugas yang tidak bisa diselesaikan oleh Dewan Mahasiswa? Kemudian,  Bagaimana pula fungsi Senat Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa? Bagaimana pula fungsi Unit Kegiatan Mahasiswa? Bagaimana pula semuanya itu menjalankan berbagai program dan aktivitasnya agar sukses dan bermanfaat? Selain itu, bagaimana tugas dan fungsi BAPAK sebagai lembaga kepengasuhan mahasiswa?

Mengenai lembaga dan biro lainnya yang dimiliki universitas, bagaimana program yang berkaitan dengan mahasiswa bisa berjalan dengan baik? Bagaimana BAAK dan juga tiap-tiap Fakultas dan Program Studi menstimulus kegiatan kuliah dan akademik lainnya bisa berjalan dengan efektif? Bagaimana mahasiswa bisa tidak hanya rajin kuliah, tetapi juga memperhatikan dengan baik lebih-lebih bisa menghasilkan sesuatu baik karya ilmiah ataupun yang lain? Bagaimana Bendahara bisa membuat mahasiswa disiplin dalam membayar uang perkuliahan dan yang lain? Bagaimana Pusat Islamisasi bisa efektif menjalankan programnya? Begitupun yang lainnya, bagaimana kesemua lembaga dapat menjalankan fungsinya dengan baik?

Mengenai interaksi mahasiswa dengan pihak luar, bagaimana hubungan mahasiswa di UNIDA Gontor Kampus Pusat yang ada di Siman dengan mahasiswa UNIDA Gontor yang lain baik di Gontor Pusat, Gontor 3, Gontor 6? Bagaimana hubungannya pula dengan UNIDA Gontor di kampus-kampus putri? Mahasiswa memang harus berdiri diatas kedisiplinan hingga  terjaga dari pengaruh buruk luar yang niscaya, namun begitu sebagai konsekuensi dari kemahasiswaan ialah juga berkontribusi bagi masyarakat, maka sejauh apa kontribusi itu bisa terjadi? Mahasiswa juga butuh networking untuk berbagai kemanfaatan, sejauh apa networking itu bisa dilakukan? Dengan siapa saja? Kemudian, sejauh apa mahasiswa luar bisa mengambil manfaat dari keberadaan mahasiswa UNIDA Gontor?

***

Bila diteruskan, masih akan ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan global maupun lebih teknis lainnya yang barangkali tidak akan habis disebutkan. Saya pribadi meyakini bahwa diantara bekal untuk memajukan kampus adalah dengan semakin terangnya pertanyaan-pertanyaan di atas. Karena dengan semakin terangnya pertanyaan-pertanyaan diatas, semakin jelaslah segala pihak dalam melangkah untuk memajukan kampus. Wallahu A’lam bish-Showab

(sam_h)

 

Membaca Tanda-tanda; Welcoming Bright-Future UNIDA Gontor [RMS#1]

12032568_1076899819006589_2026394910_n

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (١٨ 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr : 18)

Izinkan saya untuk menulis sepotong ide di otak saya yang amatlah terbatas ini. Sedikit pikiran yang tertanam sangat kuat di otak saya dan bahkan telah menjelma menjadi keyakinan yang kuat hingga menggerakkan saya untuk banyak berdiskusi dengan beberapa teman yang lain. Ia bahkan memotivasi saya untuk melakukan sedikit banyak hal sampai saat ini. Ia menguatkan saya untuk percaya bahwa disinilah tempat terbaik bagi saya untuk belajar dan berjuang. Ia adalah ide tentang masa depan cemerlang UNIDA Gontor yang sudah mulai terasa tanda-tandanya sejak saat-saat ini, paling tidak dalam perspektif sederhana mahasiswa biasa seperti saya.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa UNIDA punya visi “Menjadi universitas unggulan yang mengintegrasikan sains, teknologi dan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu keislaman dan tetap mengikuti perkembangan zaman pada tahun 2030”. Dengan visi tersebut, kita bisa sedikit meraba-raba dan membayangkan akan jadi apa UNIDA Gontor nanti di masa depan. Karena secara eksplisit disebutkan tahun 2030 dalam visi, mari kita jadikan 2030 sebagai acuan. Maka, pertanyaan yang muncul adalah, “Akan jadi apa UNIDA Gontor pada tahun 2030?”.

Saat itu, amanat piagam wakaf Gontor yaitu menjadikan Gontor sebagai Universitas yang bermutu dan berarti tentu seharusnya sudah terwujud. Maka, fakultas-fakultas dan juga prodi-prodi yang ada di UNIDA Gontor telah menjadi fakultas-fakultas dan prodi-prodi yang unggul. Dosen-dosen bahkan mahasiswanya diundang ke berbagai event seminar dan simposium nasional bahkan internasional untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka yang memang menyelesaikan problem umat manusia. Mereka tidak hanya berlangganan surat kabar tetapi juga berlangganan bantuan dana hibah penelitian dari pemerintah maupun pihak lain karena penelitian-penelitian di UNIDA yang memang dirasa manfaatnya bagi masyarakat. Pusat-pusat studi yang bertebaran berlomba-lomba berkarya dan berjasa. Di samping itu, mahasiswa tentunya sudah disegani diberbagai event perlombaan karena langganan juara pula. Dalam event silaturahmi atau himpunan, merekapun dipandang dan didengar karena keaktifan dan kontribusi positif dalam menyampaikan argumentasi dan memberikan solusi.

Saat itu, tentunya kita akan melihat UNIDA Gontor dengan pemandangan yang sangat menakjubkan. Mahasiswa yang berasal dari negara di berbagai penjuru dunia baik dari benua Afrika, Asia, Australia, Amerika, dan bahkan Eropa, dengan warna kulit yang berbeda, bahasa ibu yang berbeda, mulai terbiasa tampak menyatu dalam berbagai aktifitas. Bahasa Arab dan Inggris secara otomatis terbiasa digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Kajian-kajian memenuhi sudut-sudut gedung dan area kampus. Basisnya tidak lagi hanya berkenaan dengan bidang studi baik fakultas atau prodi tetapi juga minat dan bakat mereka yang harus dikembangkan serta negara atau daerah asal mereka sebagai tempat kembali yang memang harus diperjuangkan kelak.

Saat itu, tentunya ibadah dan dakwah adalah dua hal yang amat erat kaitannya dengan UNIDA Gontor karena pada waktu itu konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang teraktualisasi dalam Islamisasi Kehidupan benar-benar telah memperlihatkan hasilnya. Jamaah sholat Shubuh di masjid Jami’ sama membludaknya dengan sholat Jum’at. Berbagai pihak mulai berfikir untuk memperluas dan memperbesar masjid atau menghadirkan solusi lainnya. Mahasiswa yang bertitel hafidz Qur’an sudah sulit untuk dihitung jumlahnya karena saking banyaknya. Berbagai pihak dari dalam dan luar negri berbondong-bondong berkunjung dan melakukan studi banding karena nilai-nilai islam benar-benar teraplikaskan dalam kehidupan kampus. Para saintis jebolan UNIDA Gontor adalah para saintis yang beriman sehingga berakhlak dan bermanfaat. Para ulama yang intelek benar-benar diproduksi secara massal dari kampus ini.

Saat itu, hubungan antara seluruh pihak di UNIDA Gontor baik dosen, staf, maupun mahasiswa adalah hubungan yang amat harmonis. Yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda. Yang senior memberi keteladanan yang baik, yang junior meneladani kebaikan-kebaikan itu. Para dosen sama sekali tidak akan sungkan untuk hadir dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan untuk menanyakan kabar mereka. Para mahasiswa tidak segan berkunjung ke rumah atau kamar dosen untuk sekedar bertanya dan mendiskusikan materi yang tidak puas dibahas dalam ruang kuliah. Senior akan terlebih dahulu memulai salam sehingga junior merasa tidak enak dan memulai salam kepada juniornya lagi. Saling percaya menjadi bumbu yang biasa dalam berinteraksi.

Saat itu, banyak urusan utamanya adminsitrasi yang dikelola secara elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi untuk kemudahan dan efisiensi. Tidak hanya urusan akademik perkuliahan tetapi juga peminjaman buku perpustakaan, pembayaran bulanan, perizinan keluar, dan lain sebagainya. Para dosen dan staf melakukan pekerjaan mereka secara profesional. Pelayanan yag dilakukan relatif memuaskan. Transparansi menjadi budaya untuk menghindari sekecil mungkin kecurigaan dan untuk mengontrol integritas dan kinerja.

Saat itu, jumlah mahasiswa tentunya jauh lebih banyak dari sekarang. Barangkali, non-KMI akan menjadi lebih banyak jumlahnya dari KMI. Fikiran-fikiran serta ide-ide kreatif dan inovatif akan sangat banyak dan bervariasi seiring dengan semakin terasanya peningkatan daya kritis mahasiswa diakibatkan oleh semakin merebaknya budaya membaca. Satu-dua ide nyeleneh menyeruak tetapi karena sistem pencegahannya sudah kuat, hal itu bisa teratasi dengan relatif mudah. Argumentasi-argumentasi dan solusi-solusi alternatif tidak mengendap di otak-otak mereka sehingga menjadi beban melainkan dapat tersampaikan karena mekanismenya telah tersedia. Minat dan bakat mahasiswapun relatif tersalurkan karena keberadaan kelompok atau UKM yang jumlahnya cukup banyak dan variatif. UKM-UKM tersebutpun berprestasi dan berjaya di bidangnya masing-masing. Kiprah klub sepak bola, basket, dan futsal UNIDA tidak diragukan lagi dalam kancah regional maupun nasional. Begitupun yang lainnya. Hal itu dimungkinkan karena menjalankan latihan dan keorganisasian yang profesional dan penuh disiplin.

Saat itu, jumlah asrama mahasiswa tentunya sudah cukup banyak. Bisa jadi delapan atau sepuluh asrama. Tiap asrama terkoordinir secara baik lewat tupoksi kerja yang jelas dan sinergi antara berbagai elemen; mahasiswa itu sendiri, Dewan Mahasiswa, Staf Lembaga Kepengasuhan Mahasiswa atau saat ini BAPAK, lembaga kepengasuhan mahasiswa tertentu, dosen pembimbing, dan lain sebagainya. Kebersihan dan kerapian kamar bisa diatur karena jumlah mahasiswa dalam kamar yang relatif sesuai dengan kapasitas. Disiplin mahasiswa tegak dengan budaya keteladanan sebagai kekuatan intinya. Adapun penindakan sebagai sanksi dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan.

Saat itu, saat itu, dan masih banyak saat itu luar biasa lain yang bisa kita tambahkan masing-masing sekehendak kita yang kalau dilanjutkan barangkali tidak akan ada habisnya. Pada intinya, dalam benak saya, banyak impian yang sudah relatif terrealisasi pada waktu itu. Dan tanda-tanda terrealisasinya impian itu saya rasa sudah terasa sedikit demi sedikit dari sekarang, tentu apabila kita peka membacanya.

Membaca situasi yang amat menakjubkan tersebut ada di masa depan UNIDA yang ternyata tidak lama lagi itu, tentunya banyak usaha yang harus kita cicil sedikit demi sedikit sejak sekarang. Membaca kondisi yang amat berbeda tersebut, tentunya sikap kita harus dapat menyesuaikan secepat mungkin. Langkah-langkah kita harus cepat. Semakin lambat usaha dilakukan, semakin lambat progres terjadi dan semakin besar kemungkinan keterlambatan merealisasikan hal tersebut. Maka, tulisan ini adalah awal dari rangkaian tulisan bertajuk “Risalah Mahasiswa Santri” atau disingkat RMS yang merupakan ikhtiar saya untuk membantu UNIDA Gontor terutama dalam membangun kehidupan kemahasiswasantrian yang ideal dengan menstimulus mahasiswanya untuk lebih peka membaca tanda-tanda itu.

Adapun komentar, kritik, saran, amatlah saya nantikan untuk memperkaya rangkaian tulisan tersebut.

Usamah Abdurrahman [Ketua Dewan Mahasiswa UNIDA Gontor 2015-2016]

 

Melepas (Terlebih Dahulu) Madinah

uim

Beberapa waktu yang lalu, saya berada dalam kondisi yang amat gamang. Bagaimana tidak? saya dihadapkan dengan dua pilihan yang amat sulit; antara meneruskan dirasah saya di UNIDA Gontor atau menerima beasiswa dari Universitas Islam Madinah. Saya mau coba menuliskan dalam kesempatan ini…

Sebagaimana yang sebenarnya sudah sedikit saya singgung pada bagian akhir dalam postingan hampir setahun lalu berjudul Penasaran dengan Bentuk Ijazah KMI? silahkan lihat disini…, bahwa segera setelah selesai setahun menunaikan khidmah di Gontor Pusat pada 2014 lalu, meskipun saya sudah memutuskan untuk melanjutkan studi di ISID Siman, namun saya yang terbawa euforia teman-teman ikut-ikutan mencoba mengusahakan diri untuk bisa melanjutkan studi ke luar negeri. Madinah dan Pakistan menjadi tujuan “percobaan” saya. Saya meminta tazkiyah kepada Al-Ustadz Dihyatun Masqon dan Al-Ustadz Masyhudi Subari, mengumpulkan berkas-berkas, dan melakukan langkah-langkah lainnya. Namun di tengah jalan, usaha ke Pakistan saya cancel karena rekomendasi dari paman saya yang bekerja di KBRI Islamabad. Maka Madinah menjadi satu-satunya harapan saya ke luar negeri.

Waktu itu, saya membayangkan betapa asyiknya bila bisa hidup di kota nabi itu. Membayangkan betapa mudahnya sholat di masjid Nabawi sebagaimana mudahnya saya sholat di masjid kampus UGM ketika sedang berada di Jogja. Membayangkan pula bagaimana saya akan berkesempatan untuk mudah menunaikan umroh bahkan haji. Maka, saya mengisi form via website resminya dengan cukup serius. Lebih-lebih, berhubung saya sudah punya paspor, requirement saya penuhi dengan lumayan lengkap. Di akhir pengisian form, saya mendapat nomor registrasi yang bisa saya gunakan untuk mengikuti ujian alias muqobalah yang kabarnya akan diadakan di Gontor atau di Darunnajah (DN) pada bulan Syawalnya.

Di bulan Syawal, sembari mengurus kelanjutan studi saya di ISID Siman, saya juga coba kroscek ke panitia Muqobalah baik di Gontor maupun di Darunnajah. Konfirmasi bahwa Muqobalah tidak jadi diadakan di Gontor saya dapatkan dari staf Sekretaris Pimpinan dan Administrasi Gontor. Sementara itu, hingga beberapa minggu setelahnya, saya masih kroscek ke Panitia di DN. Hingga akhirnya kabarpun datang dengan nada yang sama. Sayapun menutup lembaran harapan saya sama sekali. Saya fokus menjalani hari demi hari kehidupan di ISID yang telah berubah menjadi UNIDA.

Enam bulan berlalu, tibalah waktu liburan awal tahun. Pada waktu itu, saya dapat kabar bahwa Muqobalah akan diselenggarakan di DN. Sayapun memberitahukan kabar ini kepada orangtua dan mendiskusikan “apakah saya ikut ataukah tidak?”. Cukup alot, tapi keputusan akhir yang saya ambil adalah tidak mengikutinya karena saya ingin menyelesaikan terlebih dahulu studi dan pekerjaan-pekerjaan yang telah saya mulai di UNIDA. Maka keinginan untuk studi di luar negri benar-benar saya pendam dulu, dengan harapan bisa terwujud di masa-masa selanjutnya. Akhirnya benar, setelah itu saya benar-benar focus menjadi mahasiswa UNIDA. Saya jalani semua yang ada dengan sebaik-baiknya. Kuliah, beraktifitas di Senat, LAZISWAF, dan berbagai event-event kepanitiaan seperti Olimpiade, OSPEK, dll.

Waktu cukup lama berlalu, saya tenggelam dengan berbagai aktifitas tersebut hingga pada beberapa minggu yang lalu kisah berlanjut. Tiba-tiba saja di sebuah pagi, salah seorang teman saya men-chat melalui facebook. Dia kabarkan bahwa nama saya ada dalam daftar penerima beasiswa Universitas Islam Madinah. Jujur saya sama sekali kaget. Saya menanyakan adakah buktinya supaya bisa meyakinkan saya. Maka ia berikan bukti pesan via messages FB dengan lampiran tautan menuju web resmi UIM. Maka saya buka halaman resminya, dan benar, saya dapati nama saya secara lengkap plus versi bahasa Arabnya, Usamah Abdurrahman. Namun begitu, untuk lebih terverifikasi lagi, saya harus memasukkan nomor registrasi yang dulu pernah saya terima. Sayangnya, nomor registrasi tersebut telah hilang bersama dengan hilangnya HP LG saya beberapa bulan lalu.

Seharian saya agak panas dingin menerima kabar tersebut. Secara, kondisi saya pada waktu itu cukup drop. Dalam arti, permasalahan saya di kampus benar-benar menumpuk. Banyak sekali program-program baik pribadi maupun organisasi tidak berjalan sebagaimana yang saya harapkan. Lebih-lebih, waktu itu adalah hanya beberapa hari sebelum diselenggarakannya acara SEIPTI yang akan segera diikuti juga dengan UAS yang cukup membebani pikiran. Kabar ini seakan menjadi jalan bagi saya untuk keluar dari berbagai keruwetan urusan-urusan tersebut. Di hari itu juga, datang ucapan selamat yang cukup banyak dari teman-teman baik yang masih di Indonesia maupun luar negeri. Hal itu mendorong saya untuk semakin berharap untuk ke Madinah.

Malamnya, saya mendapati sesuatu yang benar-benar tak terduga. Ada seseorang dengan nama yang persis sama dengan nama saya menanyakan, “Kira-kira itu (yang diterima di UIM) antum bukan ya?”. Saya hanya bisa menjawab bahwa saya belum bisa memastikannya berhubung nomor registrasi sebagai alat verifikasi hilang. Meskipun begitu awalnya saya cukup yakin bahwa itu adalah saya berhubung seumur hidup, amat jarang saya temukan nama yang serupa lebih-lebih lengkap. Saya tanyakan pada dia, kenapa tidak coba dia saja yang mengecek. Ternyata, dia juga berada dalam kondisi yang sama; Nomor registrasi hilang. Kamipun bersepakat untuk sama-sama menunggu proses dari PPMI Madinah untuk mengeceknya.

Pada akhir masa-masa itu, saya memutuskan untuk tidak merahasiakannya kepada orangtua. Maka saya telfon ummi saya dengan harapan akan terkesan dan segera mendukung sehingga saya bisa terlepas dari banyak problem yang saya sudah sebut semula. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, umi saya langsung menjawab bahwa hal ini sudah sama-sama kita bahas dahulu. Dan pada waktu itu keputusannya adalah saya menyelesaikan terlebih dahulu S1 di UNIDA. Maka dengan berat hati saya terima keputusan itu. Lebih-lebih belum pasti juga bahwa yang diterima itu adalah saya, bisa jadi Usamah Abdurrahman “yang satu lagi”. Maka saya jalani lagi hari-hari setelahnya, termasuk UAS dengan sebisa saya. Yang hebat adalah, hari-hari setelahnya merupakan hari-hari yang melegakan. UAS Alhamdulillah berjalan cukup lancar. Dan sedikit banyak permasalahan pribadi maupun organisasi teruraikan satu demi satu.

Puncaknya, pada saat tasyakuran setelah selesai UAS, Ustadz Hamid Fahmi Zarkasyi secara eksplisit mengapresiasi kinerja saya dengan teman-teman di Dewan Mahasiswa dimana konsentrasi paling banyak saya curahkan. Bahkan beliau mengatakan agar DEMA-DEMA periode setelahnya untuk menjadikannya contoh. Jujur, saya menjadi optimis dan siap melanjutkan perjuangan di semester genap. Lebih-lebih, sebelum pulang untuk liburan ke Jogja, ada kesempatan untuk menghadiri agenda perkumpulan BEM se-Ponorogo yang diinisiasi oleh Departemen Kerjasama dan Eksternal DEMA dalam bingkai GEMAPO. Bertempat di Hall UNMUH Ponorogo, dalam forum itu disepakati banyak hal untuk mengembangkan kemahasiswaan di kota Reyog ini.

Ada hal yang cukup mengagetkan ketika saya pulang ke rumah. Orangtua yang sebelumnya mendukung untuk meneruskan terlebih dahulu di UNIDA ternyata berubah pikiran. Ceritanya, setelah saya kabari waktu itu, orangtua saya datang ke beberapa ustadz untuk minta masukan. Terang saja semuanya menyarankan untuk mengambil kesempatan emas tersebut.

Pada hari-hari liburan itu jugalah saya mendapat konfirmasi dari teman-teman IKPM Madinah bahwa ternyata Usamah Abdurrahman yang dimaksud adalah benar saya sendiri. Jujur, saya jadi makin cenderung untuk mengambil beasiswa tersebut. Lebih-lebih, ada penjelasan dari Ustadz Ahmad Khudori, “Kalau kamu yang tidak mengharap dan berdoa untuk ke Madinah ternyata justru dipanggil untuk kesana, berarti ada maksudnya. Bagaimana mungkin menolak apa yang diharapkan oleh hampir seluruh pelajar muslim sedunia??”. Beberapa teman, kebanyakan yang sudah studi di luar negri, juga memberi masukan dengan nada yang hampir mirip-mirip, “Seperti itu sudah jelas mah mana yang lebih afdol, ga usah difikir.”

Selanjutnya saya semakin sadar bahwa ini adalah benar-benar pilihan yang serius. Keputusan saya dalam pilihan ini akan sangat menentukan jalan hidup dan masa depan saya. Maka, saya harus benar-benar serius pula mempertimbangkannya. Saya berusaha untuk memberikan kemungkinan yang seimbang pada dua pilihan tersebut. Maka, berhubung masih dalam keadaan liburan, saya coba cicil usaha proses mengambil beasiswa Madinah. Saya janjian dengan seorang teman (Iguh), yang sama-sama diterima di UIM tapi sudah mengurusnya terlebih dahulu. Saya tanyakan kepada dia langkah apa saja yang harus saya lakukan untuk memproses. Maka dia menjelaskan dengan cukup lengkap.

Di hari itu juga, saya mulai mengurus berkas SKCK dan Rekomendasi Depag. Dua dokumen ini diperlukan untuk diserahkan ke lembaga JR yang ada di Jakarta. Maka, prosedur pengurusan saya jalani satu demi satu. Untuk SKCK saya mulai dengan meminta rekomendasi kepada Ketua RW, selanjutnya ketua RT, Kepada Dukuh. Setelah itu, dilanjutkan ke kantor desa Purwomartani, Polsek Kalasan, dan selanjutnya Polres Sleman. Dari Polres Sleman, saya diarahkan menuju ke Polda DIY karena yang saya urus adalah studi ke luar negri. Ketika saya ke Polda, justru saya tidak juga diberikan SKCK melainkan rekomendasi lagi. Ketika saya tanyakan apa yang harus saya lakukan selanjutnya, saya diarahkan untuk mengurusnya langsung ke Mabes POLRI di Jakarta. Untuk Rekomendasi dari Depag, saya urus juga di waktu yang sama. Saya membawa surat permohonan ke Depag kabupaten Sleman. Namun begitu, ternyata kantor sedang disibukkan dengan beberapa event dan juga beberapa hari kerja ternyata libur karena berbebturan dengan hari besar. Akhirnya, hingga selesai waktu liburan, baik SKCK maupun Rekomendasi Depag belum selesai terurus.

Ada terbetik di fikiran untuk tidak kembali lagi saja, karena toh kalau pada akhirnya nanti Madinah saya ambil, masuk kuliah di semester selanjutnya tidak akan terlalu penting. Tapi, saya ingat bahwa masih ada cukup banyak urusan yang harus saya selesaikan dulu baik di DEMA, LAZISWAF, maupun yang lainnya. Lebih-lebih, pembayaran daftar ulang tidak perlu saya lunasi karena beasiswa prestasi yang saya dapatkan di semester genap ini. Maka akhirnya saya putuskan untuk kembali dulu ke kampus dengan tujuan utama segera mengurus registrasi dan meminta nasihat dari beberapa dosen, kemudian kembali lagi ke Jogja untuk meneruskan pengurusan berkas. Namun yang terjadi, saya cukup tersibukkan dengan sejumlah agenda. Sampai akhirnya saya putuskan untuk harus pulang segera setelah selesai dari acara peradilan semu Fakultas Syariah. Ada masa sekitar dua minggu hingga benar-benar bisa kembali. Pada masa-masa itu pula saya meminta nasihat dari para dosen. Di hari terakhir, Alhamdulillah saya sempat mendapatkan nasehat langsung dari Ustadz Hamid Fahmi Zarkasyi. Malamnya, saya pulang dengan niatan tetap akan segera mengurus berkas.

Yang aneh adalah, di sepanjang perjalanan menaiki bis menuju ke Jogja, saya sama sekali tidak bisa tidur. Satu demi satu memori perjalanan hidup dari awal hingga akhirnya masuk ke UNIDA berrputar-putar di otak saya. Pun, terngiang-ngiang di otak saya nasehat-nasehat dari para dosen. Subuh dini hari saya sampai Jogja. Dan di paginya, orangtua saya menanyakan bagaimana kabar pengurusan berkas ke Madinah. Pagi itu, dan juga sepanjang hari itu, saya belum bisa menjawab. Malahan, seharian penuh saya habiskan justru tidak untuk memproses perjalanan ke Jakarta.

Keesokan paginya, saya baru berani untuk mengatakan ke orangtua tentang kemungkinan saya tidak jadi mengambil beasiswa ke Madinah. Beberapa saat kemudian, orangtua saya menegaskan bahwa keputusan sepenuhnya ada di tangan saya. Maka hari itu saya putuskan untuk shalat istikhoroh. Saya melakukannya di Masjid Jogokaryan Jogja. Tidak tahu kenapa, tetapi saya ingin agar keputusan saya diambil di sebuah tempat yang hebat juga. Yang terjadi setelah istikhoroh adalah, di otak saya justru muncul satu demi satu ide baru tentang berkegiatan di UNIDA. Muncul juga satu demi satu jawaban dari banyak persoalan yang saya resahkan di UNIDA. Dengan spontan, saya memaknainya sebagai hasil dari istikhoroh yang telah saya lakukan. Saya semakin mantap untuk menyelesaikan terlebih dahulu banyak hal di UNIDA. Namun begitu, saya tetap berdoa semoga suatu saat nanti bisa diberi kesempatan lagi untuk ke Madinah baik untuk studi maupun yang lainnya. Maka, mantaplah saya melepas terlebih dahulu Madinah.

Saya yakin termasuk orang yang yakin terhadap sebuah mahfudzot yang berbunyi “Bepergianlah, maka kau akan mendapatkan pengganti dari apa yang engkau tinggalkan”. Tapi, saya punya pemaknaan tersendiri, “Menetaplah dengan komitmen, maka kau akan mendapatkan kebaikan dari apa yang seharusnya kau dapatkan apabila kau pergi.”

Begitulah.. kisah-yang cukup panjang untuk dituliskan-ini terjadi. Saya harapkan tulisan ini selain sebagai cara saya untuk menghargai dan mendokumentasikan salah satu kejadian paling penting dalam hidup saya, ia juga bisa menginspirasi banyak teman-teman. Terutama saya ingin menyampaikan bahwa bagaimanapun, UNIDA Gontor layak dan pantas untuk diperjuangkan. Saya tidak menjamin bahwa ini adalah pilihan terbaik. Tapi, inilah yang saya pilih. Pada akhirnya, saya sendiri yang akan membuktikan bahwa pilihan ini adalah yang terbaik atau tidak. Maka, saya minta do’a secara khusus kepada semua teman-teman agar istiqomah dalam menjalani konsekuensi-konsekuensi pilihan hidup saya. Saya juga dalam kesempatan ini berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada semuanya yang bersinggungan baik secara langsung maupun tidak yaitu Ustadz Ahmad Khudori, Ustadz Nashir Harits, Ustadz Tulus Musthofa, Ustadz Hamid Fahmi Zarkasyi, Ustadz Kholid Muslih, Ustadz Eko Nur Cahyo, Ustadz Khoirul Umam, Ustadz Royyan, Ustadz Imam Kamaluddin, Ustadz Ahmad Hidayatullah Zarkasy, Ustadz Azri Al-Haq, Mas Farros, Ustadz Eko Kholistio, Ustadz Bambang Ridho, Ustadz Iguh Wicaksono, Naufal Fuady, Abiyyu, dan semua teman dalam Grup WA Dynamic UIM, Gontor UIM, Camaba UIM, dan seluruh pihak manapun yang tidak bisa dituliskan semuanya disini.

(sam_h)

 

Mengeluhkan Keadaan

20140723-152123-55283817

Tidak jarang, bahkan kalau boleh dikatakan sering sekali, kita mengeluhkan keadaan. Kenapa keadaan kita seperti ini? Tidak bisakah kalau kita seperti itu saja? Tidak bisakah disini sebagaimana di tempat-tempat lainnya yang nyaman? Haruskah kita dilarang untuk seperti ini? Apa kepentingannya kita diharuskan seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan berupa keluhan tersebut akhirnya memenuhi otak kita. Memusingkan kita. Seakan kita dihantui oleh buruknya keadaan di sekitar kita itu.

Lebih jauh, keluhan kita merembet pada orang-orang yang berhubungan dengan keadaan tersebut atau yang memiliki otoritas atasnya. Kita jadi ikut mengeluhkannya. Kenapa beliau seperti itu? Kenapa keputusannya tidak mengenakkan kita seperti itu? Tidak bisakah beliau membuat kita lebih nyaman sedikit? Tak tahukah beliau bahwa kita sudah sangat bersabar dengan kondisi seperti ini? Tak tahukah apabila semakin kita ditekan, semakin kita harus meningkatkan kesabaran kita yang dengannya jelas perasaan tidak mengenakkan itu semakin kuat pula?

Seabrek pertanyaan itu amatlah lumrah dan wajar. Memang dasarnya kita manusia ini diciptakan dengan keadaan berkeluh kesah. Maka jangan heran terhadap diri sendiri yang sering mengeluh karena sekali lagi kita sebagai manusia memang memiliki kecenderungan yang besar untuk itu. Namun begitu, kita tidak cukup hanya berhenti pada pemahaman bahwa mengeluh itu wajar. Kemudian mengatakan, “Ya sudahlah saya mengeluh terus saja. Bukankah itu wajar?” Bukan seperti itu. Kalau seperti itu, berarti kita termasuk golongan orang yang tidak peduli-dan ini banyak sekali diantara kita.

Mengeluh saja tidak menyelesaikan masalah. Sekedar menahan diri dari keluhan-keluhan tersebut agar tidak keluar dari mulut kita juga tidak menyelesaikan masalah. Terkadang hal itu justru menyiksa hati kita. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah bertindak. Melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Ustadz Anis Matta sering mengatakan, “Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin.”

Ya, kita tidak boleh berhenti dalam keluhan. Ketika keluhan itu ada, yang harus kita lakukan adalah menghilangkannya. Tentunya dengan menghilangkan penyebab keluhan itu. Lantas bagaimana cara menghilangkan penyebab keluhan itu? Sebenarnya tidak ada cara tekhnis untuk menjawabnya. Kesemuanya tentu kembali pada masing-masing kita dan juga tergantung pada problem apa yang sedang kita derita. Tapi intinya adalah dengan menjalani selangkah demi selangkah untuk menyelesaikan satu demi satu penyebab keluhan.

Diantara langkah-langkah tersebut, yang paling sederhana dan dekat ialah melakukan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud ialah dengan mendatangi langsung pihak yang berkaitan, kemudian mengungkapkan keluhan kita. Karena betapa banyak permasalahan yang sebenarnya hanya berawal dari komunikasi yang kurang baik.

Apabila problem itu adalah sebuah isu atau kabar yang meresahkan, mintalah konfirmasi langsung dari pihak yang terkait. Tidak jarang hal yang kita resahkan sebenarnya ialah tidak sebagaimana faktanya. Maka mengkonfirmasi langsung kepada pihak terkait membuat semuanya jelas. Bila hal yang kita resahkan telah terkonfirmasi dan ternyata tidak sebagaimana faktanya, maka masalah selesai dan keluhan harusnya berakhir. Namun apabila sebaliknya, maka ada hal lain lagi yang harus kita lakukan. Yakni mencarikan solusi. Solusi hadir setelah kita berfikir. Maka berfikir menjadi sangat penting disini.

Apabila proses berfikir kita sudah berhasil menghasilkan solusi, langkah selanjutnya adalah menyampaikan solusi alternatif kepada pihak yang terkait itu. Karena seringkali otoritas diatas pada dasarnya tidak memahami masalah di akar rumput. Logika yang digunakan hanyalah logika normatif yang lumrah secara umum berlaku di berbagai tempat yang belum tentu sesuai dengan kondisi kita. Namun begitu, kita sebagai yang bersinggungan langsung dengan masalahlah yang sebenarnya paling mengerti lapangan. Walaupun kita tetap harus juga menyisakan ruang bahwa cara berfikir kita juga memiliki kemungkinan untuk salah, dan pihak terkait biasanya memang memiliki pengalaman lebih. Setelah kita sampaikan solusi kita-yang sudah terlebih dahulu diiringi doa supaya merupakan solusi terbaik dan bisa diterima, barulah peran kita berakhir. Tinggal menunggu peran Allah untuk mengatur manakah yang sebenarnya terbaik.

komunikasi

Saya mau memberikan penekanan dalam hal komunikasi ini. Karena kita, terutama yang masih berada di dalam pesantren, amatlah belum terbiasa dalam hal ini tampaknya. Ketika kita merasakan sesuatu yang tidak enak, kita menggerutu di belakang. Kita ratapi. Kita umbar-umbar bahkan ke pihak eksternal yang sama sekali tidak berhubungan dengan urusan kita itu sebenarnya. Perasaan itu kemudian mereduksi energi dan semangat kita sehingga kita menjadi tidak produktif. Padahal, apa salahnya diungkapkan?? Ungkapkan!!! Bicara!!! Bertindaklah!!! Terkadang hal ini memang agak sedikit terbentur dengan kultur budaya hirarki ala santri yang dengan alasan penghormatan kepada atasan sehingga kita bungkam. Namun apabila kita bungkam, kita resah, dan hal yang tidak diharapkan yaitu menggunjing di belakang justru terjadi.

Maka sekali lagi, bicara!!! Tentu dengan cara yang sebaik dan sesopan mungkin. Kita perjuangkan apa yang menjadi keyakinan kita. Inilah yang biasa disebut sebagai advokasi. Cara-cara semacam ini justru jauh lebih efektif dan masuk akal. Bersyukur kita-terutama di UNIDA-bahwa kita tidak mengenal demonstrasi. Karena demonstrasi memang mengorbankan banyak hal. Maka jembatan untuk mengungkapkan argumentasi dan pandangan adalah advokasi. Bermainlah disitu!!!

Kemudian-barangkali poin terakhir, apa yang harus kita lakukan apabila apa yang kita perjuangkan pada akhirnya tidak terakomodasi atau tidak diterima?? Jawabannya dari saya adalah, ya sudah, BERSABARLAH! Pastikan kita tidak melakukan hal-hal yang tidak beretika dan tidak beradab sehingga justru menyulut emosi pihak tertentu sehingga akan lebih merugikan kita lagi. Bersabarlah!! Toh sejauh apa sih keburukan atau ketidaknyamanan yang kita rasakan?? Bukankah tidak sampai membuat kita mati?? Barangkali apa yang kita resahkan pada dasarnya sebenarnya justru adalah yang terbaik bagi kita.

Ibnu Athoillah As-Sakandari mengatakan dalam Al-Hikam, “Boleh jadi Allah memberikan sesuatu kepadamu, tapi hakikatnya adalah menghalangimu dari sesuatu. Boleh jadi Allah menghalangimu mendapatkan sesuatu, tapi hakikatnya justru memberimu sesuatu. Ketika telah terbuka pintu pemahaman bagimu, tentang keterhalanganmu dari sesuatu, ketika itulah keterhalangan menjadi pemberian.”

Barangkali itu yang bisa saya tuliskan sejauh ini. Sebagai catatan, tulisan ini berlaku tidak general dan hanya mencakup kapasitas kecil di lingkup kampus UNIDA Gontor atau tempat lain yang memiliki kultur yang mirip-mirip. Perlu diketahui, banyak tempat lain, lebih-lebih dalam skala yang lebih luas seperti regional dan nasional yang tidak bisa didekati dengan pendekatan sebagaimana tulisan saya. Saya pribadi memiliki pemahaman bahwasanya demonstrasi juga diperlukan di sejumlah tempat, tapi ingat; tidak di Gontor dan tidak di pesantren.

(sam_h)

Mengukur Keberkahan

menyembah-yang-kuasa1

Baru saja selesai dari acara Peradilan Semu yang diadakan oleh Fakultas Syariah UNIDA Gontor yang-Alhamdulillah-berjalan lancar dan sukses, meskipun harus tertunda cukup lama dari waktu yang semestinya karena berbagai kendala. Meskipun juga kelompok saya ternyata belum memperoleh hasil sebagaimana yang saya pribadi harapkan yaitu mendapat predikat terbaik. Untung saja kami terhibur dengan dinobatkannya salah seorang teman kami mejadi yang terbaik dalam perannya.

Jujur saya ingin menulis tentang peradilan semu, berhubung acara ini secara khusus, dan juga fakultas Syariah secara umum, punya porsi yang tidak sedikit di dalam hati dan otak saya. Tapi kali ini, tidak tahu kenapa setelah berakhirnya acara tadi, saya mau memaksa diri saya untuk menulis sedikit tentang keberkahan. Kalau bahasa yang biasa kita dengar di Gontor yaitu BAROKATOLOGI alias ilmu tentang keberkahan. Tulisan ini juga men-skip sekitar 12 post yang sedang berada pada list draft. InsyaAllah bisa segera menyusul.

Baiklah saya akan mulai. Jadi, ceritanya beberapa bulan lalu, kebetulan saya berkesempatan beberapa hari pulang ke Jogja. Selain karena memang waktu itu saya sudah beberapa bulan tidak pulang dan amat kangen dengan suasana khas kota pelajar itu, ada teman masa kecil saya yang meminta bahkan memaksa untuk bertemu. Katanya penting sekali untuk sharing dengan saya. Saya kaget sebenarnya dan hanya bisa membatin aku mah apa?? Tapi teman saya ini sepertinya serius sekali. Sayapun memaknainya sebagai ajakan reunian personal antar teman masa kecil yang pernah merasakan indahnya masa kanak-kanak dalam lingkungan islami bersama, namun yang miris ialah ketika saya hingga saat ini masih saja-dan semoga selalu-berada di zona aman sementara dia berada di zona berbahaya. Baiklah akhirnya kami janjian untuk bertemu di sebuah kafe malamnya.

Segera setelah kami bertemu, duduk bersama dan memesan menu, tiba-tiba teman saya ini nyerocos menceritakan kehidupannya kini yang ia resahkan. Ia dengan amat berat hati menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ia sudah melakukan berbagai jenis maksiat. Dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Ketika saya tanyakan “maksiat paling besar apa yang pernah kamu lakuin?”, ia tidak berani menjawab. Mungkin malu atau apa saya tidak tahu. Ia mengatakan bahwa pada intinya ia lelah dengan semuanya.

Yang menarik adalah, tiba-tiba ditengah keluarnya satu demi satu keluh kesah, ia menanyakan sebuah pertanyaan yang sangat janggal. “Us, berkah itu bagaimana sih? Kita sering mendengar tentang berkah, tetapi bukannya keberkahan itu tidak bisa diukur oleh manusia??” Kurang lebih begitulah redaksinya.

Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba saya teringat dengan salah satu materi dalam sebuah kajian keislaman yang pernah saya ikuti, namun saya lupa ustadz siapa yang berbicara. Sayapun mencoba menjawab pertanyaannya dengan materi itu.

Bahwasanya keberkahan itu bukannya tidak bisa diukur. Bahkan sebaliknya, ia amat bisa diukur. Tolak ukur yang paling mudah dan sederhana dalam mengetahui apakah sesuatu itu berkah atau tidak adalah dengan mencari tahu apakah ianya membuat kita semakin dekat dengan Allah ataukah sebaliknya. Apakah sesuatu tersebut membuat kita semakin rajin beribadah kepada Allah atau tidak.

Apabila sesuatu itu berupa pekerjaan, apakah pekerjaan itu membuat kita semakin dekat dengan Allah? Apakah sebuah pekerjaan tersebut membuat kita mudah dalam menunaikan sholat lima waktu? Apakah pekerjaan tersebut membuat kita mudah untuk rutin tilawah? Apakah pekerjaan itu membuat kita bisa pula mengerjakan berbagai amalan sunnah? Bila jawabannya iya, maka percayalah bahwa di dalam pekeraan itu ada keberkahan. Bila jawabannya tidak, maka kemungkinan besar adalah sebaliknya.

Apabila sesuatu itu berupa benda, apakah benda itu membuat kita semakin dekat dengan Allah? Apakah benda itu tidak menghindarkan kita dari melakukan berbagai hal yang sia-sia? Apakah benda itu bisa kita gunakan untuk menunjang ibadah kita? Bila jawabannya iya, maka percayalah bahwa di dalam keberadaan benda itu ada keberkahan. Bila jawabannya tidak, maka kemungkinan besar adalah sebaliknya. Begitu pula dalam apapun.

Mendengar jawaban saya ini, alhamdulillah wajah teman saya ini sedikit berubah agak lebih cerah. Obrolan pun berlanjut ke pembahasan lain yang lebih ringan. Harapan saya, teman saya ini bisa kembali ke jalan yang benar lagi asyik ini; islam.

Usiikum wa iyyaya, keberkahan memang hal yang semestinya menjadi perhatian kita dalam berbagai aspek kehidupan. Selayaknya, keberkahan dalam setiap kerja kita menjadi seakan nafas yang tanpanya tidak bisa hiduplah kita. Bagaimana tidak? Pembahasan tentang keberkahan inilah yang membedakan kita sebagai muslim apalagi mukmin dengan selain kita. Keberkahanlah yang membuat islam kita ini sakral. Dan bagi kita para santri, keberkahanlah yang menyakralkan pondok kita.

Dimanapun kita berada, pakai teori barokatologi ini! Dan kita akan terhindar dari ketidakberkahan-ketidakberkahan yang mana benar-benar menggelisahkan kita…

(sam_h)