Putra Ketujuh Timur (Puisi Sezai Karaköç)

Di timur ada seorang ayah

Sebelum barat tiba

Putra-putranya telah sampai ke barat

Putra pertama disambut upacara besar di gerbang barat

Lalu mereka gelar pesta megah tanda hormat

Para ksatria bersenandung memuliakan sang ayah

Malam menjelang dan di antara bantal-bantal kapuk

Sang putra memimpikan fajar membiru

Siluet perlahan melayang masuk seperti bulu

Membunuh dan menguburnya di suatu tempat tak seorang pun tahu

Tapi dari udara yang tiba-tiba bercucur air mata sang ayah tahu

Dia kirim saudaranya untuk menuntut balas

Putra kedua sambil menyusuri tepian sungai negri Barat

Bertemu seorang gadis di tengah sejuk pegunungan

Dari debu yang lebah madu bawa

Dari adonan cermin, dari sinar rembulan

Dari terang Bimasakti, dari takut akan mutiara

Dari kelopak mawar, seakan dilahirkan

Bukan ibu yang melahirkannya, tetapi langit

Rambutnya digulung matahari

Bertahun-tahun dikejarnya

Tapi tak juga dapat

Barat datang bak tebing di antara mereka berdua

Lalu suatu hari di musim dingin

Angin beku membawanya pergi

Dan sang putra kedua

Ditemukan di ujung tebing curam

Dalam genggam kegilaan tak tersembuhkan

Ayah memahaminya dari hujan

Air hujan terasa pahit dan sengit

Supaya tujuan tetap terlaksana

Dia mengutus putranya yang ketiga

Putra ketiga di Barat

Terbujur lapar, ia hancur, lebur

Namun suatu hari ada pekerjaan di sebuah toko

Ketika lapar hilang, dia hendak mencari saudaranya

Nahas, sihir barat menang

Pekerjaan terlalu banyak

Tak ada waktu mencari mereka

Lalu dia lupa sepenuhnya

Dia menjadi kepala yang memerintah orang

Dia belajar mengikat dasi malam-malam

Suatu hari tiba ketika ia dituding di tokonya sendiri

Dia bos namun tetap babu

Karena kebabuan telah berumah dalam jiwanya

Suatu hari, kawan sedaerah mengenalinya di kasino

Darinya dimintalah penjelasan

Hanya karena malu kepada ayah

Dia kirimkan selembar cek bersamanya

Tapi sang ayah tidak tahu guna kertas itu

Dirobek lalu dilemparkannya ke anak-anak anjing untuk main

Cek yang berisi itu

Meskipun bagus tapi sudah lapuk

Tidak menyerah pada apa yang di kepala

Dia kirim putra keempatnya ke Barat

Putra keempat tuntas belajar dan menjadi sarjana

Suku dan negaranya sendiri

Adat istiadat dan cita-citanya sendiri

Adalah peradaban letih yang hari-harinya telah berlalu

Telah dia temukan peradaban sungguhan

Para sarjana Barat merayakannya

Lalu ia pun telah dihapus dan hilang seperti ribuan lainnya

Ayah mengetahuinya dari bahasa magis alam

Suatu hari, susu hitam mengalir dari domba keramat di rumah

Putra kelima adalah penyair

Tanpa perlu diperintah pergi sang ayah

Dia tiba dan menghirup semangat barat

Dia mengarang syair-syair hebat, tragis dan berat

Tentang kesembronoan barat dan nasib timur

Dia kumpulkan gulungan dan ingin pulang

Di gurun pasir ia ulang-ulang syair-syairnya

Lalu meleleh seperti pasir di perjalanan

Kini giliran putra keenam

Belum juga tampak di gerbang barat

Dia telah terbiasa dengan air manis beracun

Minuman keras ditenggaknya

Dia berusaha menghitung bebatuan trotoar

Dia tak bisa bedakan rumah dan jalan

Dia mengacaukan malam dengan siang

Suatu hari dia tersesat dalam kegelapan

Sang ayah kali ini telah meninggal oleh kepedihan

Putra ketujuh tumbuh memandangi pepohonan

Menyibak rahasia semi, panas, gugur, dan dingin di rimbunnya

Tapi dedaunan kering seakan takdirnya

Dan dia ingin mencoba peruntungan

Suatu fajar dia mencapai barat

Di alun-alun terluas di kota terbesar

Dia berhenti dan awalnya memohon kepada Tuhan

Agar dirinya tak berubah

Lalu tiba-tiba sebuah ilham datang

Dan dia mulai menggali tempatnya berada

Orang-orang Barat berkumpul di sekitarnya dan memandanginya

Tak digubrisnya pandangan itu

Dia menggali, terus menggali, dan tak berhenti

Lalu dia masuk ke lubang itu sampai ke pinggang

Kerumunan semakin ramai

Lalu dia balik memandangi mereka dan berkata:

Wahai, orang-orang barat!

Tanpa sadar

Kalian telah melumat enam putra dari seorang ayah

Sedang akulah putra ketujuhnya

Aku ingin dimakamkan di sini tanpa berubah

Ayahku meninggal oleh pedih saudara-saudaraku

Aku tidak ingin mengecewakan jiwanya

Kubur aku tanpa mengubahku

Aku ingin mati sebagai orang Timur

Kekuatan yang kalian punya hanya satu tapi besar:

Mengubah yang ada di depan kalian

Bahkan jika kalian membunuhku, aku tidak akan pergi dari sini

Mungkin tulangku akan jadi debu dan tanah

Tapi jiwaku tidak akan berubah

Untuk menipunya mereka lemparkan janji-janji kosong

Untuk keluar karena lapar mereka tunggu berhari-hari

Hari itu matahari melelehkan, tapi ia tidak keluar, tetap bertahan

Oleh kepedihan ini bumi dan langit terbelah

Dan dari cahayanya terjelma pilar menembus langit

Barat tidak mampu menghilangkan pilar ini

Justru mengunjunginya dan beroleh kesembuhan

Yang terluka parah tak terpulihkan

Yang di jantungnya tepat tertembak

Yang di hatinya jejak kemanusiaan tertambat

Penerjemah: Usamah Abdurrahman

Palestina dan Bunga Tartar

Aku begitu menyesal

Baru membaca Tolstoy di usia yang hampir tiga puluh

Yang atas acuan Ibrahim, Bermulakan dengan Hadji Murat

Roman ini, dan tokoh serta penokohan yang dikisahkan di dalamnya,

begitu menawan

Paragraf demi paragraf yang kuselami

Ibarat bidak-bidak catur yang dilangkahkan

Memang fardhu ain hukumnya

Para pemikir strategis, terutama di tataran geo,

Dan sunnah muakkadah

Bagi para pengabdi pada gerakan

Untuk setidaknya menyentuhnya

Bahwa kenaifan

Tidak bisa mengisi hari-hari genting

Bahwa sikap pragmatis

Adalah bagian dari perjuangan idealis

Hari-hari ini, ketika Palestina kita

kembali merasakan bara

Alasan Tolstoy menggubah Hadji Murat

Makin relevan saja kurasa

Ia kisahkan di bagian pembuka,

Di sebuah sore musim panas

Selepas memetik kumpulan bunga warna-warni

Tetiba ia melihat sesosok cantik

Ialah bunga Tartar

Tak kuasa menahan godaan,

Ia koyak sesemak di sekitar, dan mendekatkan diri

Sekuat tenaga ia tarik batang sang kembang

Yang ada hanya merah berdarah, kelu kesulitan meraih

Ketika pun berhasil tertarik, dan merekahkan telapak,

Yang ada hanyalah poranda,

Bunga yang tak lagi dapat disebut bunga

Lantas hadirlah ke benaknya

Sebuah persoalan, dan sebuah ketakjuban

Kenapa aku melakukannya?

Dan, alangkah besar keinginannya untuk terus hidup.

Lantas ku teringat pada Dipanegara dan Hanyakrakusuma…

Israel dan Barat memang perlu merenungkan hal yang sama

Siman, 21 Oktober 2023

Salam Buat Mereka

Sampaikan salamku pada mereka-mereka itu

Mereka-mereka yang selalu bilang peduli lantas berlalu

Mereka-mereka yang selalu diam di tempat tak mau maju

Mereka-mereka yang selalu katakan kenapa kini begini padahal dahulu begitu

Mereka-mereka yang selalu tak hadir pada forum dimana argumentasi itu diadu

Mereka-mereka yang selalu begitu

Ya, selalu saja begitu

*dipublish setelah sekitaran 5 tahun mengendap di draft

Berdamai dengan Sejarah Ala Turki

Oleh: Usamah Abdurrahman

BEBERAPA waktu terakhir ini muncul kabar di sejumlah berita perihal rencana penggantian salah satu nama jalan di Jakarta dengan Mustafa Kemal Atatürk sebagai balasan atas digantinya nama jalan di depan kantor KBRI Ankara yang baru dari Hollanda (Belanda) menjadi Ahmet Sukarno. Terbukalah perdebatan di tengah masyarakat, ada yang pro dan ada yang kontra.

Jujur saja saya kurang meminati polemik ini dan justru lebih tertarik untuk membahas perkara lain yang melingkupi pertanyaan; Bagaimana pandangan serta sikap rezim Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Parti) yang memerintah Turki saat ini terhadap Mustafa Kemal?

Bila mereka Islamis, kenapa mereka masih menjunjungnya tinggi-tinggi dan mengakuinya sebagai Ataturk alias bapak bangsa Turki padahal ia merupakan tokoh sekulerisme? Mengetahui jawaban dari pertanyaan ini akan memperkaya cakrawala dalam memandang identitas kebangsaan dan kenegaraan kita.

Pertanyaan pertama sebenarnya dapat dijawab dengan cukup mudah. Bagi AK Parti, Mustafa Kemal adalah bapak bangsa yang atas jasa besarnya memerdekakan negeri, layak untuk dikenang, diapresiasi, dan diteladani. Buktinya, tidak saja di seluruh gedung resmi kita bisa menemukan foto wajah dan bahkan patungnya, ajaran-ajarannya pun wajib dipelajari di tingkat perguruan tinggi dalam mata kuliah Revolusi dan Prinsip-prinsip Atatürk (İnkilap ve Atatürk İlkeleri) atau sejenisnya.

Bahkan, gelar Gazi atau pahlawan di depan namanya tak jarang disebutkan, pun oleh  Sementara pertanyaan kedua lebih sulit untuk dijawab. Meski begitu, izinkan saya untuk berpandangan bahwa alasannya adalah karena masyarakat Turki yang direpresentasikan oleh pemerintahnya saat ini telah berdamai dengan sejarah bangsanya sendiri.

Inilah yang akan saya coba jelaskan dalam tulisan sederhana ini, kemudian baru di akhir saya akan sedikit bersuara perihal isu penamaan jalan.

AK Parti dan Demokrasi Konservatif-nya

Untuk memahami bagaimana pandangan pemerintah Turki saat ini terhadap Mustafa Kemal, tulisan Burhanettin Duran berjudul The Codes of the AK Party’s Ideological Transformation patut disimak. Menurutnya, rahasia di balik stabilnya hampir dua dekade kekuasaan AK Parti, yang dengannya banyak sekali kemajuan yang dicapai, disebabkan oleh kemampuannya berdiri pada posisi yang seimbang antara tiga tantangan besar dari masa lalu, yaitu; Fakta bahwa mayoritas pendiri AK Parti adalah tokoh Milli Görüş yang Islamis, Kemalisme yang membentuk republik, dan Tatanan regional yang tersusun sejak Perang Dunia I.

Selain itu, terdapat sejumlah tantangan besar yang sedang dialami yaitu sengkarut di Timur Tengah pasca Arab Spring, usaha sejumlah kekuatan global untuk mendesain ulang tatanan kawasan, perebutan kekuasaan di antara negara-negara sekitar, serta tantangan performa AK Parti sendiri dalam konteks politik nasional.

Sejumlah tantangan di atas diperhadapkan dengan tiga diskursus yang AK Parti kembangkan yaitu; ‘Demokrasi Konservatif’ (Muhafazakar Demokrasi), ‘Peradaban Kita’ (Medeniyetimiz), dan ‘Lokal-Nasional’ (Yerli-Milli). Diskursus kedua dan ketiga berhubungan dengan bagaimana pemerintah Turki memposisikan dirinya terhadap permasalahan eksternal baik global dan regional maupun internal dalam mengatasi potensi separatisme sehingga cukup untuk sebatas menyebutkannya di sini.

Sementara diskursus pertama berhubungan dengan bagaimana kohesi sosial di dalam masyarakat dapat dijaga sebagai modal utama pembangunan. Kita akan memperdalam bahasan mengenainya.

Diskursus ‘demokrasi konservatif’ dianggap sebagai jembatan penghubung antara nilai serta identitas keislaman yang dipegang oleh mayoritas masyarakat dengan nilai demokrasi yang dianut oleh masyarakat global. Istilah konservatif digunakan untuk menggantikan istilah “Muslim” atau “Islamis” untuk memberi jarak antara mereka dengan Milli Görüş yang terasosiasikan dengan pandangan anti-sekularisme dan anti-Barat.

Milli Görüş sendiri adalah sebuah ormas berhaluan Islam yang didirikan oleh Necmettin Erbakan, mentor politik Erdoğan sekaligus Perdana Menteri Turki ke-23 yang dikudeta pada tahun 1997. Dengan ‘demokrasi konservatif’-nya, AK Parti memandang politik sebagai arena rekonsiliasi di mana setiap pihak dari latar belakang ideologi apapun dapat berperan dalam membangun negara.

Konservatisme yang dibangun kali ini tidak sama dengan yang diangkat oleh para pendahulu seperti Adnan Menderes dari Partai Demokrat (Demokrat Partisi) dan Turgut Özal dari Partai Tanah Air (Anavatan Partisi). Konservatisme AK Parti dibiarkan berada pada pemaknaan yang terbuka sehingga tetap menghargai nilai-nilai Kemalisme yang selain memang tercantum dalam Undang-undang Dasar (Anayasa) juga dipercaya sebagai faktor pemersatu Republik Turki modern.

Mengganti apalagi menghapuskannya dianggap sebagai ancaman negara. Di satu sisi, AK Parti dipandang sebagai Neo-Ataturk oleh golongan kanan karena melakukan penguatan demokratisasi. Di sisi lain, usaha tersebut justru oleh golongan kiri disebut merusak sistem kenegaraan.

Menariknya, sejak awal AK Parti nampak tidak tertarik dengan masalah simbol ideologis yang selama berdekade-dekade dipolemikkan. Pada isu substansial seperti pembangunan ekonomi dan stabilisasi politik-lah mereka bergiat. Setelah dua hal tersebut dipandang relatif tercapai, barulah isu legalisasi penggunaan jilbab diangkat, itupun atas nama penghargaan kepada nilai-nilai HAM yang memang mencakup kebebasan beragama dan mengamalkan ajarannya.

Isu mengembalikan fungsi Ayasofya menjadi masjid pun harus menunggu hampir dua dekade untuk diangkat, itupun dengan persiapan yang sangat cermat, terutama dalam mengkondisikan nalar publik.

Ibrahim Kalin, juru bicara Presiden, dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera di hari-hari yang bersejarah pada 2020 lalu mendapatkan pertanyaan dari pembawa acara, “Apakah kebijakan ini tidak mengganggu nilai sekulerisme yang selama ini dianut oleh Republik Turki?”.

Dengan amat tenang, ia menjawab, “Bila yang dimaksud dengan sekulerisme adalah penghargaan dan penghormatan terhadap hak warga negara untuk menjalankan perintah agama, maka kebijakan ini merupakan penguatan sekulerisme Turki”.

Saya rasa ungkapan tersebut mewakili nalar publik Turki saat ini sekaligus wujud dari apa yang Ahmet T. Kuru dalam Secularism and State Policies Toward Religion; The United States, France, and Turkey-nya sebut sebagai sekulerisme pasif, berkebalikan dengan sekulerisme asertif yang di rezim-rezim sebelumnya umum berlaku.

Di samping mengangkat isu simbolik yang cenderung Islamis tersebut, AK Parti juga memperjuangkan isu simbolik yang cenderung Kemalis seperti usaha untuk mengintegrasikan diri dengan Uni Eropa. AK Parti bahkan berada pada tahapan yang jauh lebih dalam dari yang telah dicapai oleh loyalis Mustafa Kemal manapun.

‘Demokrasi konservatif’ memang membawa pemerintah Turki memiliki kepemimpinan yang – Duran sebut dengan – pragmatis lagi kuat. Bagaikan pohon kokoh, ia mengakar pada kedalaman sejarah Republik Turki dan Turki Utsmaniyah sama kuatnya.

Membaca dan Menyikapi Sejarah

Dari penjelasan seputar pandangan serta sikap pemerintah Turki di atas, pertanyaan yang menarik untuk diketengahkan adalah; Apakah pemerintah Turki tidak tahu sejarah bangsanya termasuk bagaimana Mustafa Kemal berkebijakan dahulu?

Jawabannya, tentu tahu. Dan justru karena kedalaman pengetahuan merekalah pandangan serta sikap tersebut diambil. Membaca sejarah secara cermat dengan kacamata yang benar amatlah penting sehingga sikap-sikap muncul karenanya bisa tepat dan akurat.

Di luar berita tentang bau tidak sedap di makam Mustafa Kemal yang terlalu jelas kesesatannya, terlalu jelas pula catatan sejarah bagaimana – terutama sejak pertengahan periode kepemimpinannya – Mustafa Kemal melakukan represi kepada kalangan Muslimin dan mendeislamisasi bangsanya sekaligus menginspirasi praktek serupa di berbagai negeri muslim yang lain.

Perannya dalam menghapuskan Khilafah Utsmaniyah juga amat terang benderang. Karenanya, saya benar-benar memahami betapa banyak masyarakat Muslim Indonesia kecewa bila nama beliau benar-benar direalisasikan menjadi sebuah jalan di ibukota. Sebagaimana luka yang dirasakan pula hingga kini oleh tidak sedikit masyarakat Turki yang umumnya hanya bisa diungkapkan di ruang-ruang privat.

Namun begitu, perlu diketahui pula bahwa pada masa itu, kerusakan di dalam istana kekhalifahan bukan tidak ada. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan hingga ketidakcermatan dalam berkebijakan yang mengundang datangnya ancaman dari luar.

Mustafa Kemal pun akhirnya diakui berperan besar dalam membawa rakyat memenangkan perang di sejumlah daerah sehingga teritori yang kita kenal sebagai Republik Turki saat ini dapat eksis dan tidak jatuh ke tangan Inggris, Prancis, Italia, Yunani dan bahkan Armenia.

Ulama dan mufti dari sejumlah daerah pun tercatat mendukung usaha merubah sistem kenegaraan di Turki dari kekhalifahan menuju republik. Badiuzzaman Said Nursi adalah salah satu di antaranya meskipun di kemudian hari disebabkan dinamika politik yang berkembang saat itu memutuskan untuk berubah haluan, masuk ke fase kedua hidupnya menjadi ‘Said baru’ (Yeni Said), dan dipandang oposan terhadap pemerintah.

Berbagai keterangan di atas tentu memiliki versi lain baik yang sekedar berbeda maupun yang bertentangan dengan tingkat akurasi beserta landasan datanya masing-masing.

Kita bisa berandai-andai bagaimana wajah dunia saat ini bila kala itu Khilafah Utsmaniyah tetap eksis. Tapi begitulah sejarah, ia telah berlalu. Dan sebagaimana perintah agama, darinyalah kita harus mengambil ibrah.

Realitanya, pahlawan bagi suatu pihak bisa jadi pengkhianat bagi pihak yang lain dalam sebuah rangkaian sejarah yang sama. Bila pandangan ini tetap dipertahankan, rekonsiliasi apalagi kohesi tidak akan mungkin tercapai. Ketika kita sebagai bangsa masuk kepada bahasan seputar bagaimana sikap yang hendak diambil, pihak-pihak yang oleh pihak manapun dipandang berjasa maupun berkhianat sama-sama perlu dicatat dan diambil nilai dan kontribusi terbaiknya.

Di situlah pembacaan terhadap sejarah dapat benar-benar mengantarkan kita ke masa depan yang lebih baik. Tidak melupakan, hanya memaafkan sehingga para pihak yang berselisih dapat berangkulan membangun masa depan.

Begitulah saya rasa nalar di balik demokrasi konservatif ala Turki saat ini yang sangat layak untuk kita teladani. Sayangnya, nalar macam ini masih sulit diterima oleh bangsa kita. Bung Karno, sebagai bapak bangsa tidak jarang masih dipolemikkan. Padahal, meskipun barangkali benar ia pernah berhadap-hadapan dengan kubu Islamis, jasa besarnya kepada bangsa Indonesia – bahkan dunia – sama sekali tak layak untuk dikesampingkan.

Jujur saja, dibanding berpolemik seputar Mustafa Kemal saya lebih konsen pada ide agar Ahmet Sukarno benar-benar bisa direalisasikan menjadi nama jalan di Ankara. Diskursus mengenai beliau sangatlah pantas untuk diangkat ke panggung dunia, barangkali dimulai dari Turki.

Sebagaimana kita – dan para sejarawan dunia seharusnya – tahu, ia adalah simbol anti-kolonialisme global karena kemampuannya mengkonsolidasikan negara dunia ketiga dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Anti-kolonialisme inilah yang saat ini menjadi diskursus utama di Turki.

Bila kita sering menikmati berita di TRT World, saluran televisi milik pemerintah Turki, kita akan dapati betapa isu ini benar-benar disuarakan. Pun diskursus ‘peradaban kita’ yang dibawa oleh Erdogan dan AK Parti terutama dengan slogan “Dunia ini lebih besar dari hanya lima negara” (Dünya beş ülkeden daha büyüktür) dan “Dunia yang lebih adil itu mungkin” (Daha adil bir dünya mümkün) umumnya mengadvokasi hal tersebut.

Dan ketika yang digantikan adalah jalan Hollanda maka pesan anti-kolonialisme ini benar-benar kuat. Penambahan ‘Ahmet’ di depan nama Sukarno sebagaimana telah terjadi di Mesir memberikan efek penguatan kedekatan dua negara-bangsa karena identitas keislaman.

Bila Ahmet Sukarno benar-benar terrealisasi menjadi nama jalan di Ankara, maka nama Mustafa Kemal Ataturk-lah yang paling tepat sebagai resiprok.

Meminjam istilah Arya Sandiyudha, dua nama tersebutlah yang sekufu. Bila hendak menggantinya dengan Fatih Sultan Mehmet misalnya, maka resiprok yang tepat barangkali Gajahmada atau Sultan Agung. Pun bila Recep Tayyip Erdogan dipilih, bandingannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono atau Joko Widodo. Ada sejumlah suara mengusulkan nama BJ Habibi dengan Necmettin Erbakan atau barangkali nama kota saja, Jakarta dengan Istanbul atau Ankara.

Tetapi menurut saya pribadi usulan-usulan tersebut tidak mengandung pesan sekuat yang terkandung dalam ide Ahmet Sukarno-Mustafa Kemal Ataturk. Di sisi ini saya pribadi sepakat dengan Adhe Nuansa Wibisono yang menyebutkan ide ini sebagai ‘diplomasi tingkat tinggi’.

Bila terrealisasi, tidak saja bangsa Indonesia akan berdamai dengan sejarahnya sendiri sebagaimana Turki, tetapi juga berdamai dengan sejarah Islam dan bahkan sejarah umat manusia secara keseluruhan. Itulah modal besar untuk membangun masa depan Indonesia dan dunia bersama yang lebih baik.*

Konya, 21 Desember 2021

*Penulis adalah Mahasiswa Magister Filsafat Islam, Necmettin Erbakan University, Turki.

Tulisan ini telah lebih dulu diterbitkan pada 21 Oktober 2021 oleh Hidayatullah.com pada tautan berikut : https://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2021/10/21/218464/berdamai-dengan-sejarah-ala-turki.html dan Rumeli Edu pada tautan https://rumeliedu.com/2021/10/24/berdamai-dengan-sejarah-ala-turki/

Moderasi dalam Ber-Antikorupsi

Oleh : Usamah Abdurrahman[1]

Hari Jum’at lalu (16/2021) oleh Departemen Akastrat PPI Turki Kabinet Bumi Inspirasi saya diamanahi kesempatan berharga untuk menjadi salah satu pembicara dalam diskusi membedah film “Endgame” yang diproduksi oleh Watcdoc, sebuah tim media yang karya-karya dokumenternya memang telah saya pribadi nikmati sejak lama. Dihadirkan pula dalam agenda tersebut Tri Artining Putri alias Mba Puput sebagai perwakilan dari salah satu pegawai KPK yang tidak diloloskan pada Tes Wawasan Pancasila (TWP) dan Mas Indra Jati sebagai produser film dengan dimoderatori sahabat baik saya Mas Faiz Kasyfilham. Karena keterbatasan persiapan, di hari-H agenda slide presentasi yang telah saya susun dengan berat hati belum bisa ditampilkan. Saya pun memaparkan secara langsung saja sejumlah pandangan yang mengendap di kepala saat itu dengan bantuan coretan sederhana. Melalui medium tulisan inilah barangkali coretan pikiran-pikiran tersebut saya coba susun kembali dengan lebih sistematis. Harapannya teman-teman sekalian bisa lebih mudah untuk menangkap maksud dan karena ketidaksempurnaannya dapat pula mengkritisi.

Berlebih-lebihan dalam Ber-Antikorupsi

Menyambut bahasan dari Mba Puput yang mengatakan bahwa usut punya usut materi yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan TWP ialah tes moderasi bagi para perwira TNI, pada kata “moderasi” itu pula saya menitikberatkan bahasan. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa sebagai Muslim oleh Allah kita diminta untuk berlaku moderat. Moderat dalam arti wasathiyyah. Wa jaalnakum ummatan wasatan. Kita diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan atau ghuluw. Karena ia selamanya tidak akan baik. Ghuluw ini ada dua; Ifrat yaitu berlebih-lebihan dalam menambahkan dan Tafrit yaitu berlebih-lebihan dalam mengurangi. Kita diperintahkan untuk berlaku adil (i’tidal) yaitu berdiri tegak di ruang antara keduanya. Misalkan saja dalam hal makan. Kita diperintahkan untuk mengisi perut sebelum benar-benar lapar dan berhenti sebelum benar-benar kenyang.

Masalahnya, berada pada pertengahan atau berpegang pada i’tidal, memanglah sama sekali bukan perkara mudah. Kita cenderung bergerak dari satu ekstrim ke ekstrim yang lain. Kecintaan dan kekaguman kita yang berlebihan kepada seseorang, misalnya, dapat berbalik menjadi kebencian bahkan dendam kesumat bila tetiba hadir sebuah pengalaman yang dipandang buruk antara kita dan ia yang kita cintai. Sejarah juga mencatat, ketidaksetujuan Karl Marx pada kapitalisme klasik ala Adam Smith yang menganjurkan kebebasan pasar dan penguatan kepemilikan pribadi justru berujung pada ide untuk berhidup yang sama rata sama rasa. Segala bentuk kepemilikan hanyalah milik negara. Baik kapitalisme maupun komunisme akhirnya sama-sama berujung ketidakadilan yang berbuah kesengsaraan masyarakatnya.

Begitupun dalam isu korupsi di Indonesia, kebencian kita pada praktek korupsi yang dipercaya mengakar secara luar biasa di masa orde baru sehingga dijuluki sebagai tindak kejahatan luar biasa alias extraordinary crime, kita hadapi dengan usaha luar biasa pula. Produk hukum luar biasa pun akhirnya kita produksi. KPK dibekali sejumlah perangkat yang memungkinkannya melakukan hal-hal  yang tidak mungkin dilakukan oleh institusi penegakan hukum lain seperti penyadapan. Dengan skema penyadapan inilah agenda Operasi Tangkap Tangan (OTT) biasanya KPK lakukan kepada pejabat-pejabat kelas atas dan begitulah kita menangkap KPK sebagai “satu-satunya lembaga negara yang bisa diharapkan untuk memberantas korupsi”. Ya, hanya dia yang dalam dua dekade ini mampu meringkus koruptor-koruptor di berbagai sektornya. Masalahnya, dibanding indikator-indikator akademik baik yang digunakan di tingkat global seperti Corruption Perception Indeks (CPI) maupun nasional macam Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK), publik menilai performa KPK lebih pada aspek sebanyak apa koruptor dapat mereka ringkus. Bila intensitas OTT menurun, lembaga anti-rasuah itu seakan tidak lagi garang. Meskipun dalam hal ini media mainstream-lah yang sebenarnya memiliki porsi tanggungjawab lebih besar, KPK menerima kredit luar biasa.

Selain itu, sebelum dimungkinkan adanya pra-peradilan oleh MK, KPK nyaris tak pernah kalah di semua persidangan. Menariknya, fenomena ketidakpernahkalahan yang dalam praktek hukum sebenarnya kurang rasional ini seakan mengindikasikan bahwa setiap langkah hukum KPK selalu benar. Sebaliknya, setiap usaha membela tersangka yang telah ditetapkan oleh KPK dipandang sebagai usaha pro-koruptor. Memang saya sependapat bahwa terdapat oknum korup tertentu yang ingin melemahkan lembaga anti-rasuah tersebut dengan melakukan intimidasi, kriminalisasi, bahkan pengerahan massa bayaran. Oknum yang sama barangkali getol untuk mendukung revisi UU KPK pada 2019 lalu sehingga dapat dengan begitu cepatnya dituntaskan. Namun begitu, adalah salah pula bila setiap usaha untuk mencoba memperbaiki KPK termasuk melalui Revisi UU KPK dipandang sebagai serangan balik dari para koruptor (corruptor fight back). Pada titik generalisasi tadi itu keluarbiaasaan dalam pemberantasan korupsi masuk dalam kategori berlebih-lebihan. Kinerja KPK memang perlu selalu diperbaiki dan dikembangkan, meskipun menurut saya, sebelum UU KPK terlebih dahulu UU Tipikor yang harus diperbaiki.  

Ketika akhirnya Revisi UU KPK disahkan, lantas pegawai KPK menjadi bagian dari ASN dan perlu diverifikasi pemahaman kebangsaannya dengan TWP yang minim akuntabilitas, di situ pula ternyata oknum yang ingin melemahkan KPK tadi nampak lebih unggul. Dengan begini, revisi UU KPK yang sebenarnya punya tujuan mulia justru benar-benar membuka ruang pelemahan. Padahal ongkos sosial lemahnya KPK terlalu mahal karena kepercayaan masyarakat padanya yang begitu tinggi dan keberadaannya menumbuhkan harapan bahwa korupsi di Indonesia bisa diberantas. Lihat saja berbagai aksi yang dilakukan diberbagai daerah oleh berbagai macam elemen di masa-masa setelah revisi UU KPK. Merombak secara radikal lembaga ini ibarat membakar satu petak lahan pangan yang tersisa di tengah musim paceklik.

Langkah Moderat Pemberantasan Korupsi

Lantas, bagaimana caranya agar tidak berlebih-lebihan dalam ber-Antikorupsi? Menurut hemat saya, untuk mencapai sebuah kebaikan perlu cara yang baik pula. Pun dalam hal pemberantasan korupsi, caranya tidak lain ialah dengan menjalankan usaha pemberantasan korupsi sesuai dengan hukum yang legal berlaku berlandaskan etika yang benar. Baik etika maupun hukum itu didasarkan pada teori-teori yang secara ilmiah dapat didiskusikan dan diuji secara akademis oleh para ahli. Di atas teori-teori itu akan kita dapatkan formula untuk menekan angka korupsi. Di awali dengan memvalidasi definisinya, menentukan indikator keberhasilan, dan  menumbuhkan kesadaran masyarakat. Ini adalah agenda berat yang membutuhkan terutama kepala yang dingin dibanding otot yang kuat.

Tetapi bukankah korupsi adalah extraordinary crime dan bahkan kejahatan atas kemanusiaan sehingga kita perlu langkah-langkah yang bahkan dimungkinkan untuk menabrak etika, toh, para koruptor sudah terlebih dahulu tidak beretika dan tidak berperikemanusiaan? Di sinilah lagi-lagi kita terperosok ke dalam jurang ghuluw. Kita keluar dari i’tidal dan berlaku dzalim, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Siapa yang menjamin bahwa koruptor yang sedang pesakitan ditersangkakan adalah koruptor yang sebenarnya. Tidak mungkinkah di waktu yang sama masih ada mereka yang meskipun dalam kasus yang sama tetapi memiliki tingkat korupsi yang lebih tinggi dan justru tidak diperkarakan. Tidak mungkinkah para “koruptor” ini justru sebenarnya dijebak oleh koruptor yang lain karena motif tertentu terutama politik. Dan bukankah terlalu banyak jenis dan ragam korupsi beserta tingkat penderitaan publik yang diakibatkan olehnya. Tetiba kita melakukan generalisasi dan memukul rata tingkat kejahatan korupsi yang mungkin mereka lakukan. Di sinilah sebenarnya asas presumption of innocent alias praduga tak bersalah penting untuk ditegakkan. Korupsi terlalu rumit untuk disimplifikasi. Perlu kebijaksanaan tingkat tinggi untuk bisa benar-benar memberantas masalah ini dengan sistemik. Dan kebijaksanaan, seperti kita tahu, memerlukan ilmu.

Dalam usaha pemberantasan korupsi, di antara teori terpenting yang perlu difahami adalah Sistem Integritas Nasional yang utamanya dikemukakan oleh Jeremy Pope. Menurutnya, korupsi hanya bisa ditekan bila komponen-komponen yang ada dalam sebuah negara memfungsikan dirinya secara optimal. Keduabelas komponen seperti legislatif yang terpilih, peranan eksekutif, sistem peradilan independen, auditor negara, ombudsman, badan antikorupsi independen, pelayanan publik, pemerintah daerah, media independen dan bebas, masyarakat sipil, sektor perusahaan swasta, serta aktor dan mekanisme internasional ini bila saling memahami fungsi antara satu dengan yang lain lantas bekerja pada ranahnya dengan optimal maka akan dihasilkan sebuah sistem integritas yang terpadu dan saling ber-check and balances. Di saat itulah sebenarnya tingkat korupsi akan menurun. Jadi, pemberantasan korupsi bukanlah domain satu lembaga saja. Atau kalaupun satu lembaga menjadi ujung tombak, maka sebaiknya ia menjadi trigger mechanism untuk mengangkat integritas lembaga lain dan  jangan sampai justru mencederai usaha komponen-komponen negara yang lain.

Pasca pendirian KPK pada 2002 hingga saat ini selain presiden – dan tentunya KPK sendiri – praktis tidak ada lembaga yang tokohnya tidak pernah terjerat kasus korupsi. Hal ini berbanding lurus dengan tingginya keterpercayaan publik kepada KPK dan cenderung lebih rendahnya lembaga-lembaga lain terutama DPR. Padahal, tingkat keterpercayaan itu sendiri diambil dari persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat dibentuk terutama oleh media. Ada pandangan bahwa tugas menaikkan tingkat keterpercayaan publik ada di pundak masing-masing lembaga itu sendiri dan jangan melibatkan apalagi menyalahkan KPK dalam hal ini. Saya setuju bahwa masing-masing lembaga perlu untuk menguatkan kinerja dan citra masing-masing. Tetapi betapa sulitnya melakukan hal itu bila ada tenaga luar yang hanya dengan satu peristiwa korupsi langsung meruntuhkan usaha tersebut. DPD dan MK adalah di antara yang mengalami kejatuhan pamor luar biasa macam ini. Penegakan hukum pada seorang oknum jangan sampai merusak nama institusi.

Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi juga harus mulai mempertimbangkan asas restorative justice. Bagaimana agar fokus penindakan tidak sekedar pada pemidanaan pelaku, tetapi juga pemulihan kerugian korban. Dalam kasus korupsi yang korbannya adalah keuangan negara, maka bagaimana caranya agar kalaupun ada kebocoran dalam sebuah proyek tertentu, kebocorannya itu yang harus dihentikan. Bukan justru membuat proyeknya yang terhenti. Gegap gempita dalam pemberantasan korupsi seharusnya berakibat pada semakin banyak pemilik modal termudahkan dalam berusaha dan berinvestasi. Bukan justru membuat mereka takut memutarkan uang mereka di Indonesia. Sekali lagi, penegakan hukum atas korupsi perlu mempertimbangkan aspek kehidupan kebangsaan yang lain.

Harapan dalam Bermoderasi

Bersikap moderat membawa kita pada kemungkinan untuk menilai segala sesuatu dengan proporsional. Ketika saat ini KPK sudah “berubah” dengan keluarnya banyak sekali nama berintigritas yang dahulu ada di dalamnya macam Novel Baswedan, apakah kita menyerah dalam usaha pemberantasan korupsi? Apakah benar bila kita katakan bahwa satu-satunya harapan kita untuk menekan angka korupsi di Indonesia yaitu KPK sudah dikalahkan dan kita tidak punya harapan lagi? Tentu tidak. Bukankah bagi kita kaum muslimin, harapan selalu ada. Kita tidak hanya meletakkan harapan kita dalam pemberantasan korupsi kepada sebuah lembaga bernama KPK. Kita letakkan pula harapan kita pada presiden beserta menteri-menterinya bila mereka dapat menjalankan pemerintahannya dengan penuh akuntabilitas, pada partai-partai politik yang memiliki rekam jejak korupsi paling minim, pada BPK yang mengaudit performa seluruh lembaga tinggi negara, pada media yang mengupas persoalan korupsi bukan untuk mencari sensasi tetapi menghadirkan reportase yang mengarah pada solusi, dan pada semua yang memang telah dimandatkan fungsi masing-masing.

Dan yang paling penting, kita letakkan harapan pemberantasan korupsi itu pada diri kita sendiri. Saya tidak setuju bahwa korupsi hanya bisa dilakukan oleh penguasa sehingga perlawanan terhadap korupsi adalah usaha melawan kekuasaan, manakala kekuasaan yang dimaksud adalah elemen pemerintahan yang mendapat mandat rakyat dan semacamnya. Tetapi, bukankah setiap manusia diberikan mandat kekuasaan oleh Allah untuk paling tidak mengatur dirinya sendiri. Maka perlawanan terhadap korupsi sebenarnya dimulai dari perlawanan terhadap khianat yang mungkin dilakukan oleh diri sendiri. Termasuk khianat kepada Allah yang telah memberikan amanah kehidupan yang seharusnya ditunaikan dengan ketaatan beribadah dan bukannya kemaksiatan. Mungkin ini yang disebut dengan korupsi teologis.

Perilaku korup dimulai dari diri sendiri yang tidak mematuhi etika dan bahkan hukum agama. Bila kita ingin memberantas korupsi dari akarnya, maka korupsi dari masing-masing individu inilah yang terlebih dahulu harus disadari dan dicegah sehingga manakala para individu ini mendapatkan mandat publik, di fungsi apapun ia berada korupsi tak akan ia lakukan. Bahkan ia akan melawan korupsi sekecil apapun bentuknya. Moderasi dalam ber-antikorupsi mengarahkan kita untuk melawan korupsi dengan komprehensif. Tidak berlebih-lebihan dalam meletakkan harapan hanya pada satu lembaga saja. Menyandarkan pemberantasan korupsi pada ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan. Mengambil indikator yang paling sesuai dengan kebenaran baru kebutuhan. Wallahu A’lam.

Konya, 27 Juli 2021

NB. Tulisan ini telah dikirimkan ke redaksi majalah Konstantinesia PPI Turki


[1] Mahasiswa Magister Filsafat Islam, Necmettin Erbakan University Konya. Pemerhati Isu Korupsi.